Gagal LPDP Luar Negeri 2018

Pertama kali saya tau beasiswa LPDP adalah saat saya sibuk dengan skripsi tahun 2013. Saat itu belum terlalu banyak yang tahu tentang beasiswa ini, bahkan dosen dan teman-teman kuliahpun banyak yang bertanya “LPDP? Apa itu?” saat saya bilang ingin melamar beasiswa LPDP.

Sejak saat itu pula saya berminat untuk melamar beasiswa tersebut jika suatu saat ingin melanjutkan kuliah ke luar negeri. Sayangnya, selalu ada saja yang membuat saya menunda pendaftaran. Karena banyak menunda, persyaratanpun lama kelamaan semakin sulit. Dulu diawal-awal, ada 4 periode seleksi selama setahun. Sekarang Cuma sekali. Dulu tidak ada syarat surat bebas TBC dan masih boleh pakai toefl ITP untuk pendaftaran ke luar negeri, tapi sekarang dokumen tersebut harus ada. Bisa dibayangkan tidak, untuk mengurus ieltsnya saja harus sedia dana tiga jutaan dan mengurus surat bebeas TBC, keterangan sehat, dan bebas narkobanya saja sekitar 500ribuan? Padahal gaji saya waktu itu sekitar 600-800 ribu aja perbulan (nasib guru GTT). Tapi Alhamdulillah, semua dimudahkan Allah bagi saya untuk akhirnya mendaftar beasiswa LPDP LN di tahun 2018 kemarin.

Di tahun 2018, ada 3 tahapan seleksi, yaitu seleksi administrasi, seleksi berbasis komputer (SBK) , dan seleksi substansi. Seleksi administrasi mewajibkan pelamar mengisi formulir dan submit beberapa dokumen yang disyaratkan melalui online portal lpdp. Seleksi SBK ini mirip-mirip seleksi TIU di CPNS kali ya. Ada tes matematika dasar, verbal, deret angka, logika, soft skill, dan essay writing. Lain kali akan saya tuliskan di post berbeda tentang SBK ini. Seleksi yang terakhir adalah tes substansi yang terdiri dari wawancara dan Leaderless Group Discussion (LGD) yang telah sukses menjegal saya menjadi salah satu awardee LPDP.

Saya mengambil lokasi tes di Surabaya, tepatnya di Gedung Keuangan Surabaya. Lokasi pastinya saya nggak hafal, orang saya Cuma manut sama babang grab. Sekitar bulan September atau Oktober, saya lupa pastinya, saya kebagian tes selama 2 hari yaitu hari pertama untuk LGD dan hari kedua untuk wawancara. Ada juga teman yang keseluruhan tes selesai dalam sehari.

img_20181128_083909.jpg
kelompok wawancara 2,ini kursi tunggu sbelum masuk ruang wawancara

LGD

Sebelum LGD, saya sempet latihan dengan beberapa rekan sesama applicant di aplikasi discord, dan eh ndilalah beberapa dari teman latihan saya itu jadi satu kelompok LGD sama saya. Bahkan sebelum masuk ruangan, kami sempat ngobrol-ngobrol dulu walaupun kami tidak menyusun strategi khusus apapun. Satu kelompok LGD terdiri dari 6-8 orang (halo mas David, Mas Irwin, Mbak Rachel yang dulu sekelompok sama saya waktu LGD. Apakah kalian keterima?).

Ruang LGD berbentuk seperti ruang meeting, dengan meja oval ditengahnya. Diatas meja kita diberikan kertas berisi teks tentang masalah yang dibahas dan satu kertas kosong untuk mencatat. Ada 2 panelis yang observasi kami. Mereka menjelaskan aturan mainnya bahwa LGD harus dilakukan dalam Bahasa Inggris, dan menekankan bahwa LGD berarti leaderless, tidak boleh ada pemimpin dalam diskusi. Waktu yang kami punya adalah 30-45 menit, dan kami harus memilih satu peran dalam diskusi, misal sebagai pengamat, pendidik, masyarakat dan sebagainya.

Saat itu topik yang kami dapat adalah tentang defisit BPJS. Pas sekali dengan topik esai writing yang saya dapat saat SBK. LGD berjalan dengan sangat baik. I was impressed bagaimana teman kelompok saya bisa menyalurkan pendapat mereka dengan lancar, tanpa emosi, dan bisa menghasilkan solusi yang aplikatif untuk masalah yang disodorkan.

Wawancara

Keesokan harinya saya mengikuti wawancara. Saya sempat salah sangka tentang proses wawancara ini, saya pikir wawancara akan dilakukan di sebuah ruangan dan kita akan menghadapi interviewer satu lawan tiga, tapi ternyata proses ini dilakukan di satu ruangan besar seperti hall dimana meja-meja sudah ditata mengelilingi ruangan. Di masing-masing meja ada 3 orang pewawancara menunggu interviewee datang. Jadi, jika dalam sekali sesi ada 10 orang yang diwawancara, itu berarti ada 30 interviewer dalam satu ruangan.

Pengalaman wawancara bisa dibilang tidak terlalu menyenangkan, bahkan traumatis. Di ruangan yang mbengung (berdengung) itu saya kurang bisa mendengar suara ketiga pewawancara saya. Entah factor saya gugup atau suara mereka memang kecil, soalnya saya sampai harus membungkukkan badan mendekat agar bisa mendengar apa yang mereka tanyakan.

Dari ketiga interviewer, saya cuma bisa menebak bahwa yang paling kiri, yang perempuanlah yang psikolog karena beliau yang menanyai tentang hal-hal pribadi seperti kesuksesan terbesar, kegagalan terbesar, dan sebagainya. Beliau sukses bikin saya mewek saat tanya tentang masa terberat dalam hidup saya, Itu saya cuma bisa menebak, karena bahkan para interviewer tidak memperkenalkan diri dulu sebelum wawancara dimulai. Yang jelas, bapak yang tengah menanyai saya tentang studi seperti kenapa memilih universitas tersebut, organisasi-organisasi yang pernah diikuti, dll. Beliau selalu memotong-motong saat saya menjawab, membuat saya blank, dan beliau juga sempat menanyakan hal yang sama dua kali, padahal di kesempatan sebelumnya sudah saya jawab dan beliau bilang oke. Bapak yang kanan ,sangat baik, kebapakan dan sabar walaupun suaranya paling kecil, menanyai tentang nasionalisme, spesifiknya bagaimana pandangan saya tentang gerakan separatis di Indonesia seperti OPM misalnya, yang saya jawab dengan jujur tapi kemudian ketahuan kalau jawaban saya bukanlah yang mereka cari.

Setelah wawancara selesai, saya merasa sangat buruk. Saya duduk di mushalla GKN dan merasa it was all fucked up. Saya kudu nangis tapi saya tahan-tahan karena malu dilihat banyak orang. Saya piker, mungkin tadi pewawancaranya capek karena sudah lumayan siang. Saya orang ketiga yang diwawancarai mereka hari itu, tapi saat saya menghubungi orang lain yang diwawancarai oleh interviewer yang sama, dia bilang juga mengalami hal yang sama dengan saya. Ngomong dipotong-potong, diserang, dan merasa sedih setelahnya. Padahal dia maju pagi tuh.

Hasil Tes Substansi

Seperti yang mungkin sudah kamu ketahui dari judul diatas, saya gagal pemirsa. Setelah gagal, saya minta nilai ke crmlpdp, dan ternyata nilai LGD saya hampir sempurna. Kalau tidak salah Cuma kurang 4 atau 7 poin. Nilai wawancara saya, naudzubillah, sedikit sekali. Saya lupa pastinya berapa, tapi total nilai saya akan sudah bisa bawa saya masuk jadi awardee kalau saya daftar lewat jalur afirmasi.

Evaluasi (interesting notes)

Saat wawancara, dipotong saat ngomong itu bisa buat blank, apalagi kalau berkali-kali dan setiap menjawab itu dipotong. Untungnya saat itu saya cenderung menganggap pewawancara saya adalah murid saya yang perlu bimbingan, jadi saya jelaskan pelan-pelan. Teman saya ada yang gara-gara dipotong-potong sampai jadi defensif dan emosi saat menjawab.

Saat saya menangis gara-gara mengingat kegagalan saya, saya jadi merasa sedih dan rasa itu jadi membayang-bayangi saat saya menjawab pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Setelah menangis saya tidak bisa menunjukkan kemampuan terbaik saya. Jadi kalau bisa jangan menangis saat wawancara.

Salah satu pertanyaan nasionalisme yang saya dapat adalah “bagaimana pendapatmu tentang gerakan separatis di Indonesia?” Jawaban saya waktu itu adalah “Saya merasa kita bisa melihat dari dua sisi. kenapa sampai ada yang ingin keluar dari NKRI. Apakah mereka diperlakukan salah atau berbeda atau ada alasan lain. Setelah kita tahu alasannya, kita bisa mulai memperbaiki dari akar masalah tersebut, walaupun tentu saja geopolitik pasti ada. Bisa saja ada negara lain yang ingin menguasai daerah tersebut dan memisahkannya dari Indonesia akan membuatnya lebih mudah,” Dan ternyata, mungkin ini ya, ini prediksi saya, bahwa bukan itu yang dicari oleh pihak LPDP. Saya berasumsi begini karena saat saya cerita ke teman saya yang TNI, dia langsung jawab tegas “JAWABANMU SALAH. IKU TES IDEOLOGI PANCASILA. Pokok ono pertanyaan ngonoku jawabanmu harus langusng tegas TIDAK SETUJU.” Lha piye, pola pikirku dari kecil adalah kita harus melihat dari kedua sisi kok. At least I was being honest.

Seleksi wawancara dilakukan 70% Bahasa Inggris dan 30% Bahasa Indonesia. Ini jadi double dagger sih buat saya, di satu sisi saya merasa nyaman bisa menjelaskan diri saya in English dengan lumayan lancar (saya dulu kuliah s1 jurusan Bahasa Inggris), tapi di sisi lain, salah satu pewawancara saya sempat tidak mengerti apa yang saya maksudkan. Jadi, beliau menginterpretasi secara salah apa yag saya ucapkan. Kejadiannya seperti ini nih. S=saya I=interviewer

I= what is the biggest success of your life?

S=it was when I finally discovered my life goal, the purpose of my life, which is to improve Indonesia by improving the next generation’s quality. This has led me to find other successes like when I could finally enter a university of my choice, graduated with high distinction, etc.

I= but it does not happen yet? Do you think you have achieved it now?

S=I have. It was when I was a second grader of junior high school

I= but do you think Indonesia is.. bla bla bla

 

Jadi terdapat salah paham antara saya dan interviewer. Maksud saya kesuksesan terbesar saya ya pas saya bisa nemu tujuan hidup itu, tujuan hidup untuk memperbaiki Indonesia.Interviewer menganggapnya kesuksesan terbesar saya adalah memperbaiki Indonesia. Nah loh

Baiklah, sepertinya gitu aja deh ceritanya saat ini. Tolong diperhatikan bahwa ini pengalaman pribadi saya. Ada juga kok temen2 saya yang pengalaman wawancaranya menyenangkan, pewawancaranya lucu, dan sebagainya. Jadi saya harap pengalaman ini tidak di generalisir ya.

PS. Ini adalah tulisan saya yang paling acak adul kayaknya. Pertama, agak sulit recall memori kejadian yang udah tahun lalu ini, atau mungkin lebih tepatnya, saya cenderung gak pengen inget-inget kejadian ini karena menyedihkan.

 

2 thoughts on “Gagal LPDP Luar Negeri 2018

Leave a comment